Multikulturalisme dan Problem Kebudayaan di Era Global
Posted on 24. Sep, 2008 by PUSPeK Averroes in OPINI
Oleh M. Nurwahid Abdulloh*
A. Pendahuluan
Memasuki milenium ketiga, Indonesia sudah selayaknya mampu menjawab beragam tantangan dari ombak besar bernama globalisasi, yakni tantangan untuk terus berlari kencang dari ketertinggalan di pelbagai bidang, yang senyatanya tidak dapat dielakkan lagi. Globalisasi ini mendera hampir di seluruh aspek kehidupan sosial, budaya, ekonomi, hingga praktik politik-ketatanegaraan. Manifestasi tantangan-tantangan tersebut antara lain beru¬pa munculnya gagasan tentang perdagangan bebas lin¬tas negara di seluruh dunia, di mana telah melepaskan prinsip-prinsip trading kuno yang ditandai oleh munculnya korporasi-korporasi multinasional, berafiliasinya beberapa negara dalam sebuah organisasi ekonomi regional demi penguatan posisi tawar dalam percaturan ekonomi global (Uni Eropa, misal¬nya), memupusnya sekat-sekat geografis-politis yang tegas (deteritorisasi) dalam praktik-praktik interaksi sosial karena kemutakhiran teknologi (lahirnya gadget canggih dan koneksi internet dengan tingkat kecepatan tinggi, sehingga memapankan industri media), homogenisasi rancangan arsitektur bercorak Barat pada kota-kota besar di seluruh dunia, hingga industri pariwisata global yang memiliki efek diffusi (persebaran) kebudayaan serta meningkatnya konsumsi pada tataran global dan lokal sebagaimana disinggung Friedman (1994) dalam bukunya Cultural Identity and Global Process.
A. Pendahuluan
Memasuki milenium ketiga, Indonesia sudah selayaknya mampu menjawab beragam tantangan dari ombak besar bernama globalisasi, yakni tantangan untuk terus berlari kencang dari ketertinggalan di pelbagai bidang, yang senyatanya tidak dapat dielakkan lagi. Globalisasi ini mendera hampir di seluruh aspek kehidupan sosial, budaya, ekonomi, hingga praktik politik-ketatanegaraan. Manifestasi tantangan-tantangan tersebut antara lain beru¬pa munculnya gagasan tentang perdagangan bebas lin¬tas negara di seluruh dunia, di mana telah melepaskan prinsip-prinsip trading kuno yang ditandai oleh munculnya korporasi-korporasi multinasional, berafiliasinya beberapa negara dalam sebuah organisasi ekonomi regional demi penguatan posisi tawar dalam percaturan ekonomi global (Uni Eropa, misal¬nya), memupusnya sekat-sekat geografis-politis yang tegas (deteritorisasi) dalam praktik-praktik interaksi sosial karena kemutakhiran teknologi (lahirnya gadget canggih dan koneksi internet dengan tingkat kecepatan tinggi, sehingga memapankan industri media), homogenisasi rancangan arsitektur bercorak Barat pada kota-kota besar di seluruh dunia, hingga industri pariwisata global yang memiliki efek diffusi (persebaran) kebudayaan serta meningkatnya konsumsi pada tataran global dan lokal sebagaimana disinggung Friedman (1994) dalam bukunya Cultural Identity and Global Process.
Contoh-contoh akibat globalisasi di atas menunjukkan bah¬wa, dalam realitanya, globalisasi mampu menjadi penentu arah perkembangan kebudayaan dan peradaban manusia di dunia. Dalam lingkup sosio-kultural yang lebih sempit, salah satu implikasi globalisasi ialah pada munculnya pola-pola baru dari suatu kebudayaan dalam beragam bentuk dan tatanannya. Kebudayaan dengan corak baru ini kerap kita sebut sebagai kebudayaan pascaindustri, pascamodern, ataupun postmodern. Keadaan masyarakat di milenium kelima tersebut memiliki konsekuensi logis pada situasi yang akan menggiring kita, sebagai “warga dunia”, untuk berpikir, berkeputusan, hingga bertindak dalam ritme yang relatif cepat. Dari kenyataan itu, tidak bisa dipungkiri bahwa realita sosial semacam ini sesungguhnya lahir karena transformasi yang signifikan pada core kebudayaan itu sendiri, yakni pola atau cara berpikir dan cara memandang dunia (Al Mudra, 2007a dan 2008a).
Dalam konteks sosial-budaya masyarakat Indonesia, implikasi lain dari lahirnya bentuk-bentuk baru dari peradaban dan kebudayaan postmodern di atas ialah mulai ditinggalkannya produk-produk kebudayaan lokal (seni, bahasa, pola-pola perilaku, maupun benda budaya lainnya) oleh masyarakatnya. Produk-produk budaya lokal mulai ditinggalkan lantaran dianggap ketinggalan zaman, tidak up to date, kuno, dan semacamnya. Oleh karenanya, generasi terkini dengan basis kulturalnya masing-masing kemudian, meski tidak semua, akhirnya lebih memilih untuk mengadopsi budaya baru atau budaya kekinian (hybrid culture) yang telah berasimilasi dengan budaya Barat. Persoalannya bukan terletak pada boleh tidaknya diterima dan dipraktikkannya budaya hybrid tersebut, melainkan terletak pada sikap penafian budaya lama (peninggalan nenek-moyang) oleh generasi masa kini. Ketika warisan budaya tiada lagi diindahkan, maka yang akan terjadi ialah sebuah krisis identitas (jatidiri).
Oleh karena itu, sudah sepantasnya kita berupaya menjaga, merawat, mengemas, dan mempublikasikan kekayaan warisan budaya kita kepada dunia untuk mengukuhkan identitas kita sebagai bangsa yang bermar¬tabat. Sebab, hanya dengan memahami dan menjaga kekayaan warisan budaya dan sejarah, bangsa ini akan dihargai dan dipandang secara terhormat oleh bangsa lain. Benefit lain yang bisa dipetik ialah bahwa bangsa ini juga dapat berangsur melepaskan diri dari hegemoni budaya asing (Al Mudra, 2007b). Penting untuk digarisbawahi di sini, masyarakat yang dinamis tidak selalu menolak pengaruh budaya luar. Produk budaya asing yang mendorong kepada perbaikan hidup dan kemajuan, tidak perlu serta-merta ditolak. Hal ini berpegang pada prinsip “al muhafadhatu ‘ala al qadimi as sholih wal akhdzu bi al jadidi al ashlah”, yang maknanya adalah menjaga warisan (budaya) lama yang baik, dan mengadopsi sesuatu (budaya) yang baru yang lebih baik (Ibid, 2007b).
Sebelum melangkah pada bahasan lebih lanjut, tentu dibutuhkan pemahaman mengenai apa yang dimaksud dengan: (1) “budaya” dan “warisan budaya”, (2)Konsep multikulturalisme dan persebarannya, (3) Pemahaman tentang multikulturalisme, (4) Upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk dapat mewujudkan cita-cita ini.
OPINI :
Di era globalisasi ini Indonesia banyak mengalami permasalahan hampir diseluruh aspek kehidupan sosial,budaya,ekonomi,hingga praktik politik ketatanegaraan.Masalah-masalahnya antara lain berupa munculnya gagasan tentang perdagangan bebas lintas negara diseluruh dunia.
SOLUSI :
Mengaktifkan model multikulturalisme untuk meningkatkan masyarakat majemuk dan secara bertahap memasuki masyarakat multikultural Indonesia.Sebagai model maka masyarakat multikultural Indonesia adalah sebuah masyarakat yang berdasarkan pada ideologi multikulturalisme.
0 komentar:
Posting Komentar